Kafir Tanpa Sadar Mengusung Pemahaman Khawarij
KAFIR TANPA SADAR MENGUSUNG PEMAHAMAN KHAWARIJ [BEDAH FITNAH KHAWARIJ]
Oleh
Abu Ahmad As-Salafi
Muqoddimah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Buku ini adalah salah satu dari buku-buku yang sangat dahsyat menghembuskan syubhat Khawarij dari awal hingga akhir. Yang sangat disayangkan bahwa buku-buku seperti ini sangat marak akhir-akhir ini, hal ini menunjukkan bahwa fitnah Takfir saat ini begitu deras menerpa.
Karena itulah maka insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha menyingkap syubhat-syubhat yang berada dalam buku tersebut sebagai nasehat kepada kaum muslimin dan pembelaan kepada manhaj yang haq.
PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Judul asli buku ini adalah Al-Jami fil-Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, ditulis oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, diterjemahkan oleh Abu Musa Ath-Thayyar, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo, cetakan pertama September 2006
MENGIKUTI KHAWARIJ DALAM MEMAHAMI AYAT HUKUM
Penulis berkata di dalam hlm. 212 : “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di dalam ayat ini (ayat 44 dari Surat Al-Ma’idah) adalah kufur akbar. Ini karena diterangkan dengan kata-kata yang menggunakan alif dan lam ta’rif (al). Sebab, setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar, dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah ..”.
Sebelumnya pada hlm. 64 penulis berkata :”Pedoman umum : sesungguhnya, semua kata kafir yang diungkapkan dengan isim yang ber-alif ta’rif.. maksudnya adalah akbar ..”
Kami katakan : Perkataan penulis, “Setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar [1]”, berbenturan dengan sebagian atsar yang datang dari para sahabat yang di dalamnya menyifati sebagian dosa-dosa dengan lafadz kufur yang menggunakan alif dan lam ta’rif, bersamaan dengan itu dosa-dosa tersebut dianggap kufur ashghor [2] dengan kesepakatan para ulama ahli Sunnah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari di dalam Shahihnya 5273 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang di dalamnya istri Tsabit bin Qois berkata :
“Dan akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam Islam’’
Dia maksudkan mengkufuri suami sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul bari 9/400
Demikian juga diriwayatkan oleh Nasa’i rahimahullah di dalam Sunan Kubro (118 Isyrotun Nisa) dan Abdurrazzaq di dalam Mushannaf : 20953 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkomentar tentang mendatangi wanita di duburnya “ Itu adalah kekufuran’ dan sanadnya adalah kuat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Talkhishul Habir 3/181.
Kedua atsar di atas lafadz kufur menggunakan alif dan lam ta’rif dalam keadaan maksudnya adalah kufur ashghor.
Kemudian tentang perkataan penulis, “Dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah….” Perlu diketahui bahwa yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah para ulama Ahli Sunnah yang terdahulu dan belakangan, di antara mereka adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang berkata : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, sesungguhnya di adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]
Ini adalah kufur duna kufrin (kufur asghor)” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadroknya 2/342 dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya, dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342 dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/113]
Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini sebagaimana di dalam nukilan-nukilan di bawah ini.
1. Atho bin Abi Robbah rahimahullah seorang tabi’in menyebut ayat 44-46 dari surat Al-Maidah dan berkata : “Kufrun duna kufrin, fisqun duna fisqin, dan dhulmun duna dhulmin’’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/114]
2. Thowus bin Kaisan rahimahullah salah seorang tabi’in menyebut ayat hukum dan berkata ; “Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 6/114]
3. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang maksud kufur dalam ayat hukum maka beliau berkata ; “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari keimanan”.[Majmu Fatawa 7/254]
4. Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam membawakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan Atho bin Abi Robbah terhadap ayat hukum dan berkata : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agama tetap eksis meskipun tercampur dengan dosa-dosa” [Kitabul Iman hlm. 45]
5. Al-Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shohihnya 1/83 :”Bab Kufronil Asyir wa Kufrun duna Kufrin’. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Penulis (Al-Imam Bukhari) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abi Robbah dan yang lainnya” [Fathul Bari 1/83]
Perkataan semakna juga datang dari Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, Al-Imam Baihaqi, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, Al-Imam Qurthubi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
Kalau begitu, pendapat siapakah yang diikuti oleh penulis di dalam pemahaman ayat ini?! Tidak lain adalah madzhab Khowarij sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah tatkala mengomentari perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diatas “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan” : “Seakan-akan beliau mengisyaratkan kepada orang-orang Khawarij yang memberontak kepda Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu”. [Silsilah Shahihah 6/113]
Kemudian penulis berkata pada hlm. 216 : “Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah (barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan bentuk kalimat paling umum..”
Kami katakan : Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekwensinya adalah mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak adil di dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Rabbnya ; karena tatkala dia maksiat kepada Rabbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Padahal banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan tidaklah menjadikan pelakunya kafir seperti firman Allah.
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya” [Al-Hujurat : 9]
Maka nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah yang memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghor, karena itulah maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, berbeda dengan orang-orang Khawarij yang memakai keumuman ayat ini di dalam mengkafirkan para pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Telah sesat sekelompok ahli bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan ayat-ayat di dalam Kitabullah yang tidak atas dhahirnya seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44] [At-Tamhid 17/16]
Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan mengetahui hukumnya ..’ [At-Tamhid 5/74-75]
KERANCUAN PENULIS DI DALAM MEMAHAMI DARUL KUFUR DAN DARUL ISLAM
Penulis berkata di dalam hlm. 20 : “Negeri yang menggunakan undang-undang kafir adalah darul kufri (negeri kafir). Jika sebelumnya negeri itu menggunakan hukum syari’ah, lalu berganti dengan undang-undang kafir, sedangkan penduduknya masih Islam maka negeri itu Daru Kufrin Thari (negeri kafir yang tidak asli)”.
Kami katakan ; Penulis mengikuti pemahaman Khowarij yang berpendapat bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kafir keluar dari Islam secara mutlak tanpa perincian, apakah dia mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak, dan memahami secara rancu tentang hal yang menyebabkan suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam atau Darul Kufur
Yang benar bahwa suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam jika nampak syi’ar-syi’ar Islam dari penduduk negeri seperti shalat lima waktu, shalat jum’at, dan shalat Ied, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini.
[1]. Hadits Anas Radhiayallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Rasulullah hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar, beliau menunggu suara adzan, jika belaiu mendengar adzan maka beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang” [Muttafaq Alaih, Shahih Bukhari 610 dan Shahih Muslim 1365]
Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa adzan menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas ke-islaman mereka” [Syarah Nawawi pada Shahih Muslim 4/84]
Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Adzan adalah tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Al-Jami Liahkamil Qur’an 6/225]
Az-Zarqoni berkata : “Adzan adalah syi’ar Islam dan termasuk tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Syarah Az-Zarqoni atas Muwatho 1/215]
[2]. Hadits Isham Al-Muzanny bahwasanya dia berkata.
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau bersabda :”Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorangpun”.[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 3/448, Abu Dawud dalam Sunannya 2635 dan Tirmidzi dalam Jaminya 1545 dan dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Sunan Abu Dawud hlm. 202]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :”Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukan agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : Adanya masjid atau mendengar Adzan” [Nailul Authar 7/287]
Berdasarkan uraian di atas maka jika didengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah Darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam, hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata : “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasiq, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertaqwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat itu, setiap jengkal tanah yang penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka” [Majmu Fatawa 18/282]
Lalu kapankan suatu negeri Islam menjadi Darul Kufur? Yang rojih dari pendapat para ulama bahwa negeri Islam tidak berubah menjadi darul kufur dengan sekedar dominannya hukum-hukum kekafiran padanya, atau sekedar penguasaan orang-orang kafir padanya, selama para penduduknya masih mempertahankan ke-islaman mereka, bahwa selama mereka masih menegakkan sebagian dari syi’ar-syi’ar Islam khususnya sholat
Al-Kasani berkata : “Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (madzhab Hanafi) bahwasanya darul kufur berubah menjadi darul Islam, dengan nampaknya hukum-hukum Islam padanya, dan mereka berselisih dengan ada Darul Islam berubah menjadi Darul Kufur, Abu Hanifah rahimahullah berkata : Darul Islam tidak berubah menjadi Darul Kufur kecuali dengan tiga syarat : yang pertama dominannya hukum-hukum kafir padanya, yang kedua bersambungnya dengan Darul Kufur, yang ketiga tidak tersisa didalamnya seorang muslim dan seorang dzimmi yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin ..”[Bada’i Shonai 7/130]
Ad-Dasuqy berkata : “Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi Darul Harbi (negeri kafir yang diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir atasnya, tetapi hingga terputus penegakan syi’ar-syi’ar Islam darinya, adapun selama tetap ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam atau sebagian besar darinya, maka tidaklah dia berubah menjadi Darul Harbi” [Hasyiyah Dasuqy 2/189]
Merupakan kaidah dalam syari’at bahwa : Hukum asal sesuatu adalah dikembalikan pada asalnya. Tidak berubah hukum asal ini kecuali jika ada yang memindahkannya ke hukum yang lainnya dengan cara yang yakin.
Di antara contoh-contoh dalam hal ini adalah negeri Andalusia (Spanyol) yang berubah menjadi Darul Kufur sesudah kaum muslimin diusir darinya, dan sejak syi’ar-syi’ar Islam di situ dihukumi tidak ada.
Di antara contoh-contoh hal ini juga adalah negeri Islam yang para penguasanya tidak menerapkan hukum Islam bersamaan dengan itu para penduduknya menampakkan syi’ar-syi’ar Islam maka negeri itu adalah Darul Islam, karena tidak ada indikasi yang memindahkannya dari hukum asalnya. [Lihat Al-Ghuluw Fifd Din oleh Syaikh Abdurrahman bin Ma’la Al-Luwaihiq hlm 340].
PENULIS MENGHASUNG KEPADA PEMBERONTAKAN
Setelah membabi buta menyifati negeri-negeri Islam yang penguasanya tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya negeri-negeri itu adalah Darul Kufur, maka penulis menghasung para pembaca agar tidak taat kepada mereka, dia berkata di dalam hlm. 19 : “Tiada kewajiban bagi seorang muslim untuk menataati para penguasa tersebut. Demikian pula, tidak wajib baginya mematuhi undang-undang negeri tersebut. Akan tetapi dia bebas untuk melanggarnya, semau dia..”
Bahkan penulis menganggap bahwa memberontak kepada para penguasa tersebut adalah jihad sebagaimana dia katakan di dalam hlm. 30 :”Mereka memandang bahwa penguasa mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa, dan mereka memandang orang-orang muslim yang berjihad sebagai Khawarij yang sesat…”
Tidak diragukan lagi bahwa penulis telah menyelisihi pokok yang agung dari syari’at Islam yaitu wajibnya taat kepada waliyul amr di dalam hal yang ma’ruf sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rosul(Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian…” [An-Nisaa : 59]
Adapun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka di antaranya adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar selalu taat kepada waliyul amr, tidak membatalkan baiat, dan sabar atas kecurangan para penguasa
Dari Ubadah bin Shomit bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiatnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbaiat atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya beliau bersabda : “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti dihadapan Allah” [Shahih Muslim 1709]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyul amr, yang ini merupakan kezholiman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah”[Minhajus Sunnah 3/395]
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menukil ijma’ para ulama dalam masalah ini dari Ibnu Bathlam yang berkata : “Para fuqoha telah sepakat atas wajibnya taat kepada pemerintah yang menguasainya keadaan, wajibnya berjihad bersamanya, bahwasanya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena dengan ketaatan akan bisa menjaga tertumpahnya darah, dan menenangkan keadaan… mereka mengecualikan hal ini jika telah terjadi kekufuran yang jelas dari penguasa” [Fathul Bari 13/7]
MENUDUH PARA ULAMA SUNNAH SEBAGAI MURJI’AH
Buku ini dari awal hingga akhir sarat dengan tuduhan-tuduhan keji kepada para ulama Ahli Sunnah bahwa mereka adalah Murji’ah, seperti perkataan penulis hlm. 183-187 : “Beberapa ulama yang berpendapat ; tiada kekafiran kecuali dengan keyakinan : Syaikh Al-Albani… intinya pendapat Al-Albani adalah sama dengan pendapat ghulatul Murji’ah … pada kesempatan lain Al-Albani membatasi kekafiran pada ingkar (juhud)”
Penulis juga berkata di dalam hlm. 215 : “Ketahuilah bahwa kesalahan Al-Hudhaibi (di atas) telah dilakukan oleh mayoritas ulama zaman sekarang, yang dalam hal ini mereka taklid kepada Ibnu Abil Izz dan Ibnul Qayyim… Pendapat mereka ini tidak ada dasarnya, tidak ada pula dalilnya yang diterima…”
Kami katakan : Tuduhan Khawarij bahwa Ahlus Sunnah adalah Murji’ah bukan perkara baru, Al-Imam Ishaq bin Rahuwiyah berkata ; Suatu saat Abdullah bin Mubarok datang ke kota Ray maka berdiri menghampirinya seorang dari ahli ibadah –dugaan terkuat dia ini mengikuti pemikiran Khawarij- dia berkata kepada Abdullah bin Mubarok rahimahullah : “Wahai Abu Abdirrahman apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Abdullah bin Mubarok berkata : “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan”. Orang tersebut berkata ; “Wahai Abu Abdirrahman dalam usia setua ini engkau menjadi Murji’ah?!, Abdullah bin Mubarok berkata : “Orang-orang Murji’ah tidak setuju dengan kami, mereka mengatakan : Amalan-amalan kami diterima dan dosa-dosa kami diampuni, dan seandainya aku tahu bahwa satu amalan baikku diterima maka aku akan mempersaksikan bahwa diriku di surga”. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shohih]
Tentang tuduhan irja’ kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah maka telah dibantah oleh para ulama Sunnah di antaranya Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh yang berkata : Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala : Bahwasanya Syaikh Ali hafizhahullah dan gurunya –Syaikh Al-Albani rahimahullah paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah- sebagaimana telah kami katakan sebelumnya.
Demikian juga Syaikh Al-Albani jika ditanyakan kepadanya : “Apakah definisi Iman? “Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan.
Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa definisi iman adalah : “Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan’ [Lihat Tanbihat Mutawaimah hlm 553-557]
PENUTUP
Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini, sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi Insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 5 th. Ke 7 1428/2007 [Des 07-Jan 08], Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu – Gresik, Jatim 61153]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2340-kafir-tanpa-sadar-mengusung-pemahaman-khawarij.html